Hesty Atmana Sari Mahasiswa RPL S1 Keperawatan Universitas Aisyiyah Yogyakarta Bekerja di RS PKU Muhammadyah Gamping
Di sebuah pasar kecil dekat rumah, ada seorang perempuanparuh baya bernama Bu Hening yang dikenal ramah, sabar, dan bersahaja. Meski sibuk melayani pelanggan yang tak pernah sepi, ia selalu menyapa dengan kehangatan. Ketika tiba giliran saya, sebelum sempat memesan, ia sudahmenyambut, “Dada satu difilet ya?” Seakan sudah hafal kebiasaan pelanggannya.
Bu Hening adalah seorang ibu dari dua anak laki-laki. Anak pertamanya telah bekerja, sementara anak keduanya masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Di balik senyumnya yang tenang, ia menyimpan luka batin yang mendalam. Baru tigabulan yang lalu ia bercerai dari suaminya, sebuah keputusanberat yang diambil setelah melalui pertimbangan panjang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perceraian itu bukan keputusan yang mudah bagi Bu Hening. Sebagai seorang muslimah, ia memahami bahwa perceraian adalah hal yang dibolehkan tetapi dibenci oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad). Namun, perilaku suaminya yang kerap mabuk, berjudi, berselingkuh, tidak memberikan nafkah, berkata kasar, dan bahkan melakukan kekerasan fisik membuat Bu Hening merasa tidak punya pilihan lain.
Keraguan sempat menyelimuti hatinya, terutama karena memikirkan masa depan anak-anaknya, terlebih yang masih bersekolah. Sebagai ibu rumah tangga yang sebelumnya hanya bergantung pada nafkah suami, ia merasa belum mampu secara finansial. Namun, dengan dukungan penuh darikedua anaknya dan keluarga, Bu Hening memberanikan diri untuk melangkah keluar dari situasi yang menyakitkan.
Kini, dengan segala keterbatasan, Bu Hening berjuang kerasuntuk menghidupi keluarganya dengan menjadi pedagang ayam potong. Usahanya yang penuh ketulusan membuatnya tetap tegar di tengah cobaan hidup. Ia adalah bukti nyatabahwa keteguhan hati seorang ibu mampu membawa kekuatan luar biasa untuk menghadapi segala tantangan demi masa depan anak-anaknya.
Perceraian merupakan proses hukum yang secara resmi mengakhiri ikatan pernikahan antara dua individu. Umumnya, perceraian terjadi ketika pasangan suami istri merasa tidak lagi mampu melanjutkan kehidupan bersama akibat berbagai konflik yang tak kunjung menemukan solusi. Perceraiansering kali menjadi gambaran nyata dari kegagalan sebuah keluarga dalam mempertahankan keharmonisan, yang berujung pada runtuhnya ikatan emosional dan tanggung jawab yang sebelumnya terjalin dengan erat dalam hubungan pernikahan.
Faktor perceraian dipicu oleh berbagai faktor yang menjadi sumber konflik dalam pernikahan. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya komunikasi, di mana ketidakharmonisan sering kali muncul akibat pasangan sulit memahami satu sama lain. Selain itu, perselingkuhan yang melibatkan kehadiran pihak ketiga kerap menjadi alasan utama runtuhnya kepercayaan dalam hubungan.Tekanafinansial juga berperan besar dalam memicu konflik berkepanjangan, terutama ketika masalah ekonomi tidak dapat diatasi bersama. Perbedaan nilai dan prioritas hidup antara pasangan sering kali menyebabkan jarak emosional, yang pada akhirnya meretakkan hubungan.
Tak kalah penting, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik dalam bentuk fisik, emosional, maupun verbal, menciptakan lingkungan yang tidak sehat, sehingga mendorong salah satu pasangan untuk mengakhiri pernikahan. Semua faktor ini menunjukkan kompleksitas persoalan yang melingkupi perceraian, menjadikannya isu yang perluditangani secara serius.
Perceraian membawa dampak yang luas, terutama secaraemosional bagi individu yang mengalaminya. Pasangan yang bercerai sering kali menghadapi perasaan gagal yang mendalam, disertai stres berkepanjangan dan bahkan depresiakibat perubahan besar dalam kehidupan mereka. Rasa kehilangan, ketidakpastian, dan tekanan sosial kerapmenghantui, menjadikan perceraian bukan sekadar akhir daripernikahan, tetapi juga awal dari berbagai tantangan baruyang harus dihadapi.
Selain berdampak pada pasangan, perceraian juga memberikan efek signifikan pada anak-anak. Mereka seringmenjadi pihak yang paling rentan, harus menghadapi trauma emosional akibat perpisahan orang tua yang dapat memengaruhi perkembangan psikologis dan sosial mereka. Di sisi lain, meskipun stigma sosial terhadap perceraian mulai berkurang dalam masyarakat modern, di beberapa komunitas pandangan negatif dan tekanan sosial masih terasa kuat. Hal ini menunjukkan bahwa perceraian tidak hanya menjadi persoalan pribadi, tetapi juga memengaruhi dinamika sosial dan hubungan antar individu dalam masyarakat.
Mencegah perceraian memerlukan upaya bersama darikedua pasangan, dan ada beberapa langkah efektif yang dapat diambil untuk menjaga keharmonisan dalam pernikahan. Pertama, meningkatkan komunikasi adalah kunci keterbukaan dan empati dalam berkomunikasi sangat penting untukmengatasi konflik yang mungkin muncul. Selain itu, konseling pernikahan dapat menjadi dukungan profesional yang berharga, membantu pasangan menemukan solusi atas masalah yang mereka hadapi. Terakhir, pendidikan pra-nikah memberikan pemahaman mendalam tentang tanggung jawabdalam pernikahan, yang dapat meminimalkan risiko perceraian di masa depan. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, pasangan dapat memperkuat ikatan mereka dan membangun kehidupan bersama yang lebih harmonis.
Dalam Islam, umat diajarkan untuk senantiasa memohon pertolongan Allah SWT dalam segala hal, termasuk dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah: “Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun, waj‘alna lilmuttaqina imama” (QS. Al-Furqan: 74), yang artinya, “YaTuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan hidupdan keturunan yang menjadi penyejuk hati kami, serta jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Dengan mengamalkan prinsip-prinsip Islami ini, keluarga muslim dapat membangun rumah tangga yang kokoh, penuh cinta, dan harmonis. Hal ini tentunya dapat membantu mengurangi potensi perceraian dan memperkuat ikatan dalam pernikahan.
Editor : Dian